5 Kumpulan Puisi Terbaik Karya WS Rendra


Puisi sendiri merupakan sebuah bahasa yang terikat oleh irama, mantra, rima serta penyusunan larik dan bait, umumnya puisi itu sendiri merupakan ungkapan pengalaman dan emosi penulis yang memiliki kesan tersendiri dan dikemas dengan penulisan yang baik sehingga menghasilkan karya yang berirama dan enak ketika dibaca. Menurut ahli puisi H.B Jassin, puisi sendiri merupakan suatu karya sastra yang diucapkan dengan perasaan dan memiliki gagasa atau pikiran serta tanggapan terhadap suatu hal atau kejadian tertentu.

Salah satu penyair puisi ternama di Indonesia ialah WS Rendra, beliau sendiri memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto, ia merupakan seorang sastrawan Indonesia yang lahir di Solo pada masa penjajahan Belanda pada Tahun 1935, Ia meninggal di Kota Depok pada Bulan Agustus Tahun 2009 Silam, Ia merupakan salah satu penyair puisi yang paling terkenal di Indonesia dan memiliki julukan "Burung Merak", Berikut beberapa puisi terbaik Karya WS Rendra yang sampai saat ini masih melegenda, diantaranya :

Sajak Pertemuan Mahasiswa
(W.S. Rendra) Jakarta, 1 desember 1977

matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan
lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan
kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : kami ada maksud baik
dan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?
ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?
kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah  tanah di gunung telah dimiliki orang  orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat  alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
tentu, kita bertanya :
lantas maksud baik saudara untuk siapa ?
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu  ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?
sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak  cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang
dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan  pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra
di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !


Sajak Sebatang Lisong
(W.S. Rendra) ITB Bandung  19 agustus 1978

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak  kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan  pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis  papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak  kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungny

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana  sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung  gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes  protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair  penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak  kanak tanpa pendidikan
termangu  mangu di kaki dewi kesenian

bunga  bunga bangsa tahun depan
berkunang  kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta  juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
­­­­­­­­­­­
kita mesti berhenti membeli rumus  rumus asing
diktat  diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa  desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan


Sajak Orang Lapar
(W.S. Rendra)

kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam

o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin

kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan

seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin

o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca

o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam

o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu.


Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya
(W.S. Rendra) Sajak-sajak sepatu tua,1972.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.



Maskumambang
(W.S. Rendra) Cipayung Jaya, 4 April 2006

Kabut fajar menyusut dengan perlahan.
Bunga bintaro berguguran
di halaman perpustakaan.
Di tepi kolam,
di dekat rumpun keladi,
aku duduk di atas batu,
melelehkan air mata.

Cucu-cucuku!
Zaman macam apa, peradaban macam apa,
yang akan kami wariskan kepada kalian!
Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.

Kami adalah angkatan pongah.
Besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana
manghadapi masa depan.

Karena kami tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa lalu,
dan tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa kini,
maka rencana masa depan
hanyalah spekulasi keinginan
dan angan-angan.

Cucu-cucuku!
Negara terlanda gelombang zaman edan.
Cita-cita kebajikan terhempas waktu,
lesu dipangku batu.

Tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa,
biarpun tercampak di selokan zaman.

Bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang,
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,
tanpa kita berdaya melawannya.
Semuanya terjadi atas nama pembangungan,
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.

Tatanan kenegaraan,
dan tatanan hukum,
juga mencontoh tatanan penjajahan.
Menyebabkan rakyat dan hukum
hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat
hanyalah pemerintah dan partai politik.

O, comberan peradaban!
O, martabat bangsa yang kini compang-camping!

Negara gaduh.
Bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan merajalela.
Pasar dibakar.
Kampung dibakar.
Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.
Tanpa ada gantinya.
Semua atas nama takhayul pembangunan.
Restoran dibakar.
Toko dibakar.
Gereja dibakar.
Atas nama semangat agama yang berkobar.

Apabila agama menjadi lencana politik,
maka erosi agama pasti terjadi!
Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!

Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat.

Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon jinjing.
Udara yang ramah menyapa tubuhku.
Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.
Berdengung sepasang kumbang
yang bersenggama di udara.
Mas Willy! istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata.
Aku bangkit hendak berkata.
Sssh, diam! bisik istriku,
Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara.


Demikian 5 kumpulan puisi menarik karya WS Rendra yang melegenda dan menjadi idola sepanjang waktu, terus ikuti sukapuisi.com untuk mendapatkan kumpulan puisi terbaru, jangan lupa bagikan artikel ini melalui media sosial anda agar lebih banyak orang yang akan mendapatkan inspirasi dari kumpulan puisi karya WS Rendra, Terimakasih dan salam sastra.

Belum ada Komentar untuk "5 Kumpulan Puisi Terbaik Karya WS Rendra"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel